Me, You, and How these all started
Me, You, and How these all started
Jum'at , 1 Januari 2016
Pertama kali ketemu saat itu aku masih umur 22 tahun, buluk, dengan tas kura-kura berisi laptop dan dokumen klien. Pas banget aku keluar dari toilet dan dia mau masuk toilet. Later on dia bilang dia kena zonk ketemu sama aku di depan toilet, kepalang basah ngga bisa kabur.
Sekitar 8 bulanan setelah pertemuan itu, 1 Januari 2016 kami baru jadian, setelah up and down yang luar biasa.
Hubungan kami memang diawali dengan pertemanan, mostly curhat tentang pasangan masing-masing. Waktu itu kami memang masih punya pacar dan bermasalah dengan pacar masing-masing. Makanya buat pembaca, hati-hati kalau suka curhat sama lawan jenis, udah banyak kejadian kaya gini, curhat awalnya, menikah kemudian.
Untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih pun sudah menjadi keputusan yang complicated. Walaupun sama-sama berasal dari tanah Sumatera Utara, kami berbeda. Pasanganku marga Sembiring Meliala, yang notabene orang Karo. Sementara aku orang Simalungun, even ibuku orang jawa tapi adat Simalungun masih kental di keluargaku.
Pertimbangan-pertimbangan bahwa kami tidak mau menjalin hubungan hanya untuk sekedar pacaran yang ngga tau arahnya kemana membuat sulit, ditambah ada kekhawatiran kemungkinan keluarga besar akan susah saling menyesuaikan... jika nanti kami menikah, adat mana yang akan dilaksanakan, apakah adat Simalungun atau Karo.
Kami sama-sama anak pertama, ayahku salah satu pemuka agama di Gereja kesukuan, membuat bapak ego untuk melaksanakan adat Simalungun di pernikahan putri pertamanya. Begitu juga dengan pasanganku yang anak pertama, dan cucu pertama laki-laki dari keluarganya. Jadi suku sudah menjadi masalah.
I have tattoos on my body, that was a different story but also one of the most severe consideration. Tattoo bukan hal yang umum, apalagi untuk perempuan dan putri seorang pendeta. Aku tidak berminat untuk menjelaskan secara detail tentang itu. Tapi untuk orang-orang yang masih tradisional dan terjebak pada pemikiran era 98, tattoo is a crime. Aku ga menyalahkan kekhawatiran cami ku kalau-kalau keluarganya menolak.
But after all, love conquers all obstacles.
How?
Yang pertama saya lakukan, tattoo removal treatment. Ya, saya menghapus tattoo-tattoo yang bersemayam disekujur lengan. Sakit? Lebih sakit dari pada saat membuat. Mahal? Lebih mahal dari saat membuat.- kalau dipikir-pikir, biaya buat removal bisa untuk jahit kebaya pernikahan haha-
Menyesal? Tidak. Baik saat membuat maupun menghapus. Alibi saya, semua rencana dan rancangan Tuhan. Ini proses belajar.
Keluarga, adat, budaya, perbedaan... itu cuma masalah waktu. Pada akhirnya keluarga inti bisa saling menerima, saling memaklumi. Yang terpenting saya dan cami bisa membuktikan kami saling menjaga dan mengasihi. Beruntungnya orang tua kami mengedepankan kebahagiaan -dengan syarat- kami berdua (masalah adat dijelaskan di postingan berikut ya >.< )
Sabtu, 18 Februari 2017
1 tahun berselang setelah kami pacaran, orang tua mulai julit kapan nikah, hubungannya serius atau engga, dan menyusul pertanyaan-pertanyaan lain. Gue dan abang uda beberapa kali membahas tentang pernikahan, tetapi mengingat gimana egoisnya kami, pernikahan itu rasanya masih jauh didepan mata.
Gue dan cami sepakat untuk tidak terlalu membebani orang tua dengan perkara pernikahan kami. Sejak awal kami berpacaran, cami gue udah ngajakin nabung bareng. Dia bilang, entah nanti untuk apa, intinya ditabung dulu. Kalau pun nanti berjodoh, seenggaknya gue dan dia udah punya modal mandiri buat bayar gedung dan catering.
Dan tanggal 18 Februari dia datang menghadap orang tua gue, menjelaskan kemana dia mau bawa hubungan gue sama dia. Apa yang udah kami lakukan setahun ini, dan apa yang kami punya untuk modal menikah.
Sabtu, 11 Maret 2017
Finally, orang tua gue dan cami gue ketemu untuk pertama kalinya. Orang tua cami gue datang ke rumah untuk bersilahturahmi. "Bersilahturahmi" mungkin bahasa yang lebih tepat dari sekedar menanyakan kesediaan orang tua gue untuk memberikan izin putrinya dipersunting.
Saat itu kedua orang tua kami sepakat untuk mengadakan pesta pernikahan di awal tahun 2018.
Dengan berbagai pertimbangan diminta agar bisa dilaksanakan sebelum lebaran 2018.
Mungkin karena takut harga melonjak drastis saat menjelang lebaran 😂
Disini 1 tahun persiapan kami menjelang hari H.
Label: Adat, Adat Simalungun, Pra-pernikahan, Proses Adat
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda